Huzaemah: Cahaya Timur yang Meniti di Ujung Waktu


Di antara gugusan bintang barat, ia terlahir, seperti embun di atas daun-daun hijau Kaleke 30 Desember 1946, bersamaan dengan kibaran bendera merah putih pada tahun yang sama di kampung halamannya, membawa sejuknya hikmah yang mengalir hingga jauh, melampaui batas-batas samudera. Huzaemah, wanita yang teguh, menjalin perjalanan hidupnya layaknya matahari yang menyinari setiap sudut dengan kehangatan kebijaksanaan.

Ia adalah guruku, seperti angin lembut yang menyusup di antara pepohonan, memberikan napas baru pada dedaunan yang hampir layu. Kata-katanya, seperti manik-manik mutiara, memotivasi untuk terus mengejar ilmu, mendaki puncak pengetahuan hingga ke puncak tertinggi, menembus awan ketidaktahuan.

Dengan bijaksana, ia mengingatkan seseorang bernama Nadirsyah Hosen, profesor di Monas Law School, “Ujang, dalam Al-Qur'an (QS: Al-Ra'd: 11) telah disebutkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri mau mengubah nasibnya. Kalau Allah saja tidak bisa mengubah nasib kamu, bagaimana kamu berharap saya akan membantu kamu untuk mengubah nasib kamu, kalau kamu sendiri tidak mau mengubahnya?”

Namun, bukan sekadar cendekiawan yang ia bentuk, melainkan insan yang seimbang, yang kaki-kakinya tertanam kokoh pada akar tradisi, namun kepalanya terangkat tinggi, menyambut angin modernitas dengan bijak. Seperti burung yang mengembangkan sayapnya, ia terbang, namun tak pernah melupakan sarangnya.

Dalam dunia yang penuh dengan gelombang perubahan, Huzaemah adalah batu karang yang kokoh, tak tergoyahkan. Ia mengajarkan bahwa peran perempuan, seperti seutas tali, harus selalu ditarik dengan keseimbangan—satu ujungnya berlabuh di rumah, sementara yang lain melayang di angkasa dunia luar. Baginya, tidak ada kontradiksi dalam memegang dua peran, selama keduanya dijalani dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Huzaemah selalu menekankan, “Islam mentolerir adanya wanita sebagai tenaga baru dalam mencari nafkah dengan adanya perkembangan zaman. Namun, wanita harus tetap menjaga kewajiban sebagai ibu rumah tangga, dan tidak melupakan hukum-hukum yang ditentukan agama.”

Ketika badai ideologi datang, mencoba meruntuhkan tatanan yang telah terbentuk, ia berdiri teguh, seperti pohon yang berakar dalam di tanah. Ia menolak usulan-usulan yang mencoba menggoyahkan fondasi hukum Islam, dengan keyakinan yang sama kuatnya seperti ombak yang menghantam tebing namun tak pernah mampu menghancurkannya. Bagi Huzaemah, "Pembaruan dan modernisasi tidak berarti harus memberangus tradisi, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan Hadis."

Huzaemah, wanita yang bercahaya, seperti bulan purnama yang menerangi malam gelap. Cahaya ilmunya, tak hanya menerangi dirinya sendiri, tetapi juga menjadi penuntun bagi generasi berikutnya. Ia adalah bintang yang tak pernah redup, meski waktu terus berlalu, ia tetap bersinar, memberi petunjuk di tengah malam yang paling gelap.

Dan kini, di akhir hayatnya, jejaknya tak akan pernah hilang, karena ia telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, diukir dalam setiap hati yang pernah disentuhnya, seperti tinta hitam yang tak pernah pudar dari lembaran sejarah.


-Teuku Imansyah, puisi prosa ini ditulis berdasarkan artikel tirto.id: Huzaemah T.Yanggo Ahli Perbandingan Mazhab yang Gilang Memintang, 20/08/24.

Komentar

  1. Terima kasih atas ilmunya 🙏🏻

    BalasHapus
  2. Jika Virgoun kehabisan kata kata ketika menceritakan starla dalam lirik lagunya, saya akan mengikutinya jika mendefinisikan sang penuis karya ini. Luar biasa guru🙌

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Dapur ke Dunia

Lembah Napu dalam Gema Legenda