Ufuk Timur Tersayang II

Aku berdiri di tepi jurang keraguan. Siasatmu merayap perlahan, membeku di setiap sudut hatiku. Sepanjang jalan yang samar, kulangkahkan kaki dengan hati yang terus memuja. Menabur sendu di hadapan layar yang bercahaya, berharap tatapanmu yang kuinginkan hadir beberapa senti di depan keningku, menghangatkan jiwa yang dingin oleh malam.

Ufuk timur tersayang, di sinilah kisahku yang berdesir. Merintih dalam kerinduan yang mendesak-desak. Seperti Layla yang merindu Khais, hatiku adalah lautan yang tidak pernah tenang, gelombang rindu yang terus menghantam. Dalam hiruk-pikuk dunia yang tidak henti bergerak, aku adalah bayang yang melirik sendu pada setiap sudut kehidupan. Dirimu, di sana, tersenyum seperti matahari di langit yang tidak bisa kurengkuh.

Lihatlah, mentari yang setia menemani pesisir demi pesisir pantai, membekaskan jejaknya di tubuh-tubuh lemar yang kering. Aku hanya bisa berharap, mengukir karsa dalam waktu yang sempit, mencari cara untuk menyampaikan rasa. Kepada sang rembulan yang bersinar lembut, aku sampaikan hasratku, ingin sekali saja menatapmu. Hanya sekali, walau mungkin itu pun tidak akan pernah terjadi. Namun biarlah rindu ini terus membakar, hingga fajar kembali menjemputku di ufuk timur yang sama. Meski langit berubah warna, dan waktu adalah angin yang terus berlalu.


"Teuku Imansyah, 24 Agustus 2024"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Huzaemah: Cahaya Timur yang Meniti di Ujung Waktu

Dari Dapur ke Dunia

Lembah Napu dalam Gema Legenda