Lembah Napu dalam Gema Legenda

Di lembah sunyi, di Desa Sedoa yang dibalut kabut pagi, tersembunyi sebuah legenda yang menembus tirai waktu. Di sana, kisah Puteri Bunga Manila dan Tolelembunga, seekor kerbau dengan tanduk menjulang setinggi puncak gunung, mengalir bak sungai yang abadi. Mereka adalah roh-roh pengembara, melintasi batas-batas bumi, meninggalkan jejak-jejak yang membentuk desa-desa, yang kini masih menghiasi Lembah Napu yang lembut. Puteri Bunga Manila, bagaikan angin setia pada burung yang melayang, selalu mendampingi Tolelembunga, menyusuri setiap langkahnya, mendengarkan bisikan tanah dan desir angin. Di setiap tempat mereka berhenti, desa-desa mekar seperti bunga liar di padang, memberi warna pada peta kehidupan. Masyarakat Sedoa, yang telah lama menetap, merawat kisah ini dengan hati yang suci, mengenang Puteri dan kerbau tercintanya dengan memberi nama jalan-jalan pada bayang-bayang masa lalu.

Dahulu kala, sebuah kerajaan bernama Sigi, hijau dan makmur, dipimpin oleh Ratu Ngilinayo yang bijaksana. Puterinya, Bunga Manila, adalah kecantikan yang tak tertandingi, dan di sampingnya selalu ada Tolelembunga, kerbau dengan tanduk seperti pedang takdir, melindunginya dari segala bahaya. Namun, suatu hari, kabut kekhawatiran menyelimuti hati sang Puteri. Tolelembunga tidak pulang ke kandangnya selama beberapa hari. Dia pun mengirimkan empat puluh pria untuk mencarinya, seperti pasukan yang tak kenal lelah, menyusuri jejak kaki sang kerbau hingga mereka menemukannya beristirahat di tepi Sungai Sopu, di bawah naungan pepohonan.

Namun, perjalanan mereka terhenti di Petiro Ue, tempat yang tenang dan mempesona. Di sana, Tolelembunga menolak melangkah lebih jauh, seolah-olah tanah itu telah memanggilnya untuk tinggal. Puteri Bunga Manila datang dengan cinta di matanya, namun kerbau itu tetap bersikukuh. Akhirnya, di bawah langit biru yang terbentang luas, mereka membangun perkampungan, agar Tolelembunga merasa tenang. Namun, di tahun ketujuh, seperti angin yang tak terkurung, Tolelembunga kembali pergi, meninggalkan Puteri tanpa jejak.

Kali ini, langkahnya membawa keindahan ke Wombo, sebuah tempat yang disulap oleh waktu menjadi surga kecil. Di sana, sumber air panas mengalir lembut, dan Tolelembunga, terpesona oleh alam yang memeluknya, menetap untuk selamanya. Puteri Bunga Manila pun menyusul, membawa hatinya yang dipenuhi kerinduan, membangun perkampungan di Wakabola, di mana rumah adat "Sowa" berdiri megah sebagai istana, dan "Dusunga" menjadi tempat suara-suara bijaksana berdiskusi.

Di tanah subur itu, Puteri Bunga Manila bertemu Sadunia, pria tampan dengan senyum yang menyejukkan jiwanya. Cinta mereka tumbuh seperti pohon besar, berakar kuat di tanah Wakabola. Dari cinta itu lahirlah Puteri Posuloa, yang kelak mewarisi keindahan dan kekuatan kedua orang tuanya. Sementara itu, Tolelembunga bertemu Beloiliwa, kerbau jantan besar yang menjadi pasangannya, dan dari persatuan mereka, lahirlah generasi kerbau yang kuat dan tangguh, seperti akar yang mencengkeram erat bumi Lembah Pekurehua.



Demikianlah, legenda Tolelembunga mengalir dari generasi ke generasi, menjadi nyanyian lembut yang menyatukan masa lalu dan masa kini, menari dalam ingatan dan menjadi pelindung bagi mereka yang hidup di tanah berkah ini.


-Teuku Imansyah, puisi prosa ini berdasarkan buku "LOLITA MPATURU I LALUBASA NAPU 1990".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Huzaemah: Cahaya Timur yang Meniti di Ujung Waktu

Dari Dapur ke Dunia